“Swab yang keenam”
Setiap hari kemerdekaan biasanya saya membuat tulisan tapi tahun ini waktu menulis benar-benar tidak ada. Baiklah, hari ini tanggal 5 September dini hari ada sedikit waktu setelah melengkapi kontrak-kontrak penelitian. Peringatan 75 Tahun Indonesia akan saya tandai dengan momen “Swab keenam”. Ya sejak lab diminta menjadi lab rujukan pemeriksaan SARS Cov 2 ini sudah keenam kalinya hidung diogrok ogrok sampai mengeluarkan air mata. Meskipun begit, saya gembira berarti sistem monitoring pekerja masih dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan Manajemen Biorisiko.
Siapa akan menyangka dunia terbalik sedemikian rupa karena virus, suatu makhluk yang kami selalu pelototi dalam pekerjaan sehari-hari. Januari 2020 diawali dengan kabar suatu virus misterius di Wuhan China. Sebagai orang yang bekerja dengan virus kami terus memantau perkembangan. Januari-Februari- Maret, virus pelan-pelan merambah negara-negara lain. Berbagai teori muncul bahwa kita tidak akan terkena parah seperti halnya kasus SARS dan H1N1 pandemi meskipun kami selalu bersiap-siap dengan terus memantau sistem diagnostik yang digunakan dan disarankan WHO dan CDC.
Dan saat itu tiba bangsa kita tidak kebal seperti yang diyakini, Lembaga International sudah tahu hal itu dan membekali beberapa institusi dengan kit dan ujicoba pemeriksaan. Akhirnya sampai di laboratorium kami, lab harus disetting dengan cepat, jam kerja berubah, tugas-tugas diatur dan dialihkan sedemikian rupa. Jam kerja 12 jam per hari, 6 hari kerja dan hasil harus tepat waktu. Begitulah dari pertengahan Maret sampai sekarang. Sejalan dengan hal itu, permintaan penelitian juga meningkat pesat dan harus cepat. Ohhhhhhhhhhh seandainya kami bisa membelah diri.
Saat bapak Presiden meminta semua dilakukan dengan cepat dan adanya Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID, seiring dengan digelontorkannya dana, semua bergerak dan saat itulah banyak yang unjuk gigi walaupun terlalu dini. Penelitian adalah pekerjaan panjang dalam kesunyian yang penuh dengan jatuh bangun bukan membuat roti yang asal jadi untuk dimakan enak ataupun tidak enak tetapi semua dilakukan dalam kesunyian sampai formula terbaik ditemukan. Kesunyian itu adalah kebisingan dalam pikiran dan eksperimen: mencermati satu persatu publikasi yang sudah dikeluarkan, menjalin Kerjasama dan mengutak utik formula sampai keluar EUREKA!
Tetapi kesunyian tidak menjadikan kamu menjadi selebriti yang tenar sehingga akhirnya banyak yang mencari jalan pintas dengan berbagai macam overclaim yang harus mengkhianati evidence-based. Sayangnya memang tidak ada sangsi untuk hal itu. Akhirnya membuat mereka menjadi selebriti yang mampu meraih pundi-pundi. Semua itu tergantung dengan kecerdasan masyarakat dan mungkin itu juga mampu mencerdaskan masyarakat, mereka akhirnya mencari tahu sana sini dan memahami bahwa klaim mereka itu salah. Hmmm bingung ya… intinya masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas (walau belum semua) untuk menilai mana yang benar dan salah daripada kami harus mendebat yang tidak mau kalah debat karena akan menambah kelelahan kami. Kalau saya, saya akan menjawab orang-orang yang mencari tahu tentu saja.
Sisi lainnya, dengan pandemi ini, solidaritas bangsa Indonesia meningkat dan terlihat dengan jelas. Ini adalah suatu kabar baik. Sisi lainnya lagi biomedis, bioteknologi dan teman-temannya menjadi ilmu yang menjadi tumpuan sehingga semua orang menjadi tahu bahwa kita selama ini hanya menjadi target pasar dan perlu mandiri untuk tetap eksis dengan perkasa di dunia. Dan kami tahu kalau Indonesia mampu untuk itu dengan kerja keras kita semua! Ok… mari menjadi masyarakat yang cerdas, selama vaksin masih diusahakan dengan keras siang dan malam sudah seharusnya kita tetap menjalankan protocol Kesehatan dengan ketat dalam upaya kita menghidupi keluarga, agar dapur tetap ngepul agar ekonomi Nasional tetap berjalan. Jangan kasih kendor ya gaesssssss.